Indahnya Bukit Telang di Kalimantan Selatan

“Zer, masih jauh nggak?”.

Aku dan Hendra terengah-engah mengikuti gaya jalan Zerie. Wajar saja, Zerie sering sekali mengeksplor bukit-bukit di sekitaran Kalsel. Sedangkan kami lebih banyak mengeksplor kuliner. Bahkan, Zerie yang paling banyak menemukan jalan menuju bukit-bukit baru. Ia lebih banyak berjalan sendiri, karena tak ribet. Tapi kali ini, ia membawa dua orang gentong yaitu kami.

“Bentar lagi Yud, dikit lagi.”.

Kata-kata Zerie seolah mengiang-ngiang ditelinga. Kalimay penyemangat belaka. Setiap kita melangkah selama lima hingga sepuluh menit, belum sampai-sampai juga.

“Hoax” pikirku dalam hati.

Kami berjalan melintasi hijaunya padang rerumputan yang bergoyang mengikuti angin. Bunyi rerumputan yang saling bergesekan dihempas angin selalu menenangkan. Aku selalu berpaku pada prinsipku, yaitu untuk menikmati perjalanan, tak perlu ngoyo. Berjalan santai tak terburu-buru menjadi opsi yang kami pilih. Sesaat kami meneduh sebentar dibawah sebuah pohon kecil, mengobrol hal-hal tidak penting sambil beristirahat.

“Zer, Ndra. Aku naik duluan gapapa? Takutnya kesorean” tanyaku.

“Iya gapapa Yud, aku sama Zerie disini dulu yak. Masih enak duduk” jawab Hendra.

“Tinggal lurus aja Yud ikutin jalur. Jalannya jelas kok” tambah Zerie.

Banyak orang yang bilang, terlalu banyak istirahat saat mendaki malah membuat badan semakin capek. Dan aku percaya itu. Menurut orang yang sudah sering naik gunung, katanya beristirahat apa lagi hingga duduk akan merusak ritme jalan dan ritme bernafas. Seharusnya jika sudah mendapatkan ritmenya, tetaplah berjalan pelan diselingi istirahat sebentar.

Langkah demi langkah, peluh demi peluh. Tak lagi kudengar suara tawa teman perjalananku. Mungkin, sudah terlalu jauh. Aku memutuskan untuk beristirahat sebentar. Sepertinya, berbaring diantara ilalang merupakan pilihan yang tepat.

Semakin jauh, semakin terasa. Perasaan kecil diantara semesta semakin nyata. Dulu ketika aku menjelajah ke arah timur, rasanya sudah pergi jauh sekali. Tetapi semakin jauh, ternyata terasa semakin kecil. Mengapa?

Saat itu, rasanya berbangga hati sekali bisa menginjak daerah-daerah yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Berawal dari tekad dan keberanian, serta pesan almarhum yang menjadi pemantik semangat, aku mulai melangkah. Tak lama, aku berani membanggakan diri dengan titel “solo backpacker” yang aku gadang-gadang saat itu. Rasa bangga mulai bertransformasi sedikit demi sedikit menjadi rasa angkuh yang sulit dikendalikan.

Lalu, aku sadar.
Semakin jauh, aku sadar bahwa aku bukan siapa-siapa. Hanya debu kecil di luasnya alam semesta. Setiap hari, aku bertemu dengan banyak orang yang jauh lebih berpengalaman. Berpengalaman bukan hanya soal keberanian atau banyaknya destinasi, tapi bagaimana cara memahami sesuatu dari berbagai sudut pandang. Memahami apa yang diinginkan dan yang telah dicapai. Menghargai tiap tetesan peluh saat berjuang. Bagaimana dia berani berkorban untuk hal-hal yang jauh lebih penting. Berpikir panjang dan bisa memilih prioritas.

Rasanya seperti ditampar keras-keras oleh tangan sendiri. Mungkin, semua ini adalah sebuah fase. Perjalanan adalah sebuah fase. Bermulai dari kita mencari jati diri dan tujuan, lalu menemukan jalan menuju puncak. Berbangga hati saat dipuncak, lalu turun. Saat turun, hampa terasa. Ternyata, bukan hanya puncak yang kita cari, tetapi lebih dari itu. Dan pasti, setiap orang akan melewati fase-fase itu.

Perjalanan bukanlah urusan titel. Titel hanyalah predikat, yang akan usang nantinya. Keesokan hari, selalu akan ada yang lebih baik. Paling tidak, aku melakukan apa yang terbaik hari ini, esok dan seterusnya.

Tiba-tiba suara Hendra mengagetkanku.

“Yud, ngapain bengong?” tegur Hendra.

“Hahaha, nggak Hen. Capek. Gak rugi lah keatas.” jawabku sambil tersenyum.

“By the way Hend, thanks udah dibawa kesini.”.

“Santai Yud, abis ini kita makan-makan dibawah” jawab Hendra sambil tertawa.

Angin bertiup semakin kencang, membuatku mengencangkan jaket. Perona jingga mulai mewarnai langit yang dipenuhi gumpalan awan. Lagi-lagi, suara gemerisik ilalang membangun suasana yang menenangkan.

“Terima kasih, Kalimantan. Aku akan kembali”.